Donderdag 28 Maart 2013

PENGERTIAN DAN TUJUAN PEMBUKAAN UUD 1945


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan ke Negaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara-batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita.Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pokok-pokok kaidah negara yang fundamental. Maka di samping merupakan suasana kerohaniaanya dari UUD 1945, juga merupakan sumber penjabaran normatif, oleh karena itu dalam pembukaan UUD 1945 terkandung sendi-sendi kehidupan negara.
Tujuan
  1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman Pembukaan UUD 1945
  2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai arti dan tujuan pembukaan UUD 1945.
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah dibentuknya UUD 1945.
2.      Apa Pengertian yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945.
3.      Apa tujuan dibentuknya pembukaan UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Dibentuknya UUD 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 merupakan badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Kemudian Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sedangkan pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

PENGERTIAN ISI PEMBUKAAN UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 beserta pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaannya merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 juga merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad bangsa Indonesia mencapai tujuannya.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat 4 alinea yang merupakan sumber hukum tertinggi. Dan dibawah ini merupakan makna dari setiap alinea UUD 1945, yaitu:
1.      Alinea Pertama
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Kalimat tersebut menunjukkan keteguhan dan kuatnya motivasi bangsaIndonesia untuk melawan penjajahan untuk merdeka, dengan demikian segala bentuk penjajahan haram hukumnya dan segera harus dienyahkan dari muka bumi ini karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian dan keadilan.
Dalam alinea pertama tersebut terkandung suatu pengakuan tentang nilai ‘hak kodrat’, yaitu yang tersimpul dalam  kalimat “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa...”. Hak kodrat adalah hak yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam pernyataan tersebut ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, bukan hak individu saja sebagaimana deklarasi  negara liberal. Bangsa adalah  sebagai suatu penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Oleh karena sifatnya sebagai hak kodrat , maka bersifat mutlak dan asasi dan hak tersebut merupakan hak moral juga. oleh karena sifatnya  yang mutlak dan asasi maka ‘wajib kodrat’ dan ‘wajib moral’ bagi penjajah yang merampas kemerdekaan bangsa lain untuk memberikan hak kemerdekaan tersebut. Pelanggaran terhadap hak kemerdekaan tersebut adalah tidak sesuai dengan hakikat manusia (peri kemanusiaan) dan hakikat adil (peri keadilan) dan atas pelanggaran tersebut maka harus dilakukan suatu pemaksaan, yaitu bahwa penjajahan harus dihapuskan.


2.      Alinea Kedua
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adildan makmur”.
            Kalimat tersebut membuktikan adanya penghargaan atas perjuangnan bangsa Indonesia selama ini dan menimbulkan kesadaran bahwa keadaan sekarang tidak dapat dipisahkan dengan keadaan kemarin dan langkah sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang. Nilai-nilai yang tercermin dalam kalimat di atas adalah negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur hal ini perlu diwujudkan.
            Berdasarkan prinsip yang bersifat universal pada alinea pertama tentang hak kodrat akan kemerdekaan, maka bangsa Indonesia merealisasikan perjuangannya dalam suatu cita-cita bangsa dan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alinea kedua ini sebagai suatu konsekuensi logis dari pernyataan akan kemerdekaan pada alinea pertama.
            Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia di samping sebagai suatu bukti objektif atas penjajahan pada bangsa Indonesia, juga sekaligus mewujudkan suatu hasrat yang kuat dan bulat untuk menentukan nasib sendiri, terbebas dari kekuasaan bangsa lain.
            Hasil dari perjuangan bangsa Indonesia itu terjelma dalam suatu Negara Indonesia. Menyusun suatu negara atas kemampuan dan kekuatan sendiri dan selanjutnya untuk menuju pada suatu cita-cita bersama yaitu suatu masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran.
           
3.      Alinea Ketiga
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.
            Pernyataan ini bukan saja menengaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materil bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan menjadi spritualnya, bahwa maksud dan tujuannya menyatakan kemerdekaannya atas berkah Allah Yang Maha Esa
            Pengakuan “Nilai religius”, yaitu dalam pernyataan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai religius, bahkan merupakan suatu dasar negara (sila pertama),sehingga konsekuensinya merupakan dasar dari hukum positif negara maupun dasar moral negara.
            Secara filosofis bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kemerdekaan dan negara Indonesia di samping merupakan hasil jerih payah perjuangan bangsa Indonesia. Juga yang terpenting adalah merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
            Pengakuan ‘nilai moral’ yang terkandung dalam pernyataan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Hal ini mengandung makna bahwa nagara dan bangsa Indonesia mengkui nilai-nilai moral dan hak kodrat untuk segala bangsa. Demikian juga nilai-nilai moral dan nilai kodrat tersebut merupakan asas bagi kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia.

4.      Alinea Keempat
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”.
            Setelah dalam alinea pertama, kedua dan ketiga dijelaskan tentang alasan dasar serta hubungan langsung dengan kemerdekaan, maka dalam alinea keempat sebagai kelanjutan berdirinya negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dirinci lebih lanjut tentang prinsip-prinsip serta pokok-pokok kaidah pembentukan pemerintahan negara Indonesia. Dimana hal ini dapat disimpulkan dari kalimat “...kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia...”.
            Pemerintahan dalam susunan kalimat “Pemerintahan Negara Indonesia...”, hal ini dimaksudkan dalam pengertian sebagai penyelenggara seluruh aspek kegiatan negara dan segala kelengkapannya (goverment) yang berbeda dengan pemerintahan negara yang hanya menyangkut salah satu aspek saja dari kegiatan penyelenggaraan negara yaitu aspek pelaksana.

Tujuan Pembukaan UUD 1945
            Dibuatnya pembukaan UUD 1945 pastinya mempunyai sebuah tujuan. Tujuannya agar masyarakat indonesia mendapatkan keadilan dan kemakmuran baik secara materi maupun spiritual. Jika diperhatikan, tujuan bangsa indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 mencakup 3 hal, antara lain :
1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2.      Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
3.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dari Dari poin-poin diatas kita dapat menyimpulkan bahwa negaraIndonesia melindungi negara dan seluruh warga negaraindonesia yang berada di dalammaupun di luar negeri. Selain itunegara kita menginginkan situasidan kondisi rakyat yang bahagia,makmur, adil, sentosa.
Sedangkan jika berdasarkan susunan Pembukaan`UUD 1945, maka dapat dibedakan empat macam tujuan sebagaimana terkandung dalam empat alenia dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut :
·         Alinea I, untuk mempertanggungjawabkan bahwa pernyataan kemerdekaan sudah selayaknya, karena berdasarkan atas hak kodrat yang bersifat mutlak dari moral bangsa Indonesia untuk merdeka.
·         Alinea II, untuk menetapkan cita-cita bangsa Indonesia yang ingin dicapai dengan kemerdekaan yaitu terpeliharanya secara sunguh-sungguh kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan bangsa, negara dan daerah atas keadilan hukum dan moral, bagi diri sendiri dan pihak lain serta kemakmuran bersama yang berkeadilan.
·         Alinea III, untuk menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan menjadi permulaan dan dasar hidup kebangsaan dan kenegaraan bagi seluruh warga Indonesia yang luhur dan sucidalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
·         Alinea IV, untuk melaksanakan segala sesuatu itu dalam perwujudan dasar-dasar tertentu yang tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, sebagai ketentuan pedoman dan pegangan yang tetap dan praktis yaitu dalam realisasi hidup bersama dalam suatu negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa makna dari pembukaan UUD 1945 berbeda pada setiap alineanya. Tetapi intinya setiap warga negara berhak mendapatkan hak-hak azasinya yang meliputi hak azasi pribadi, hak azasi ekonomi, hak azasi politik, hak azasi sosial dan kebudayaan, hak azasi mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta hak azasi terhadap perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum baik didalam maupun di luar negeri. Keseluruhan hak azasi manusia di negara kita tercantum di dalam UUD 1945. Serta setiap warga negara indonesia berhak dan wajib menjunjung tinggi serta membela negara indonesia.










DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, M.S. 1987. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta :Penerbit Paradigma.
Rahmatiah, Fithri.2011. Makna Pembukaan UUD 1945. (http://greenpeace-blogger.blogspot.com/2011/05/makna-pembukaan-uud- 1945.html), diakses 21 Mei 2011.

Landasan Pengembangan Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang  
Kurikulum sebagai rancangan sekaligus kendaraan pendidikan mempunyai peran yang sangat signifikan dan berkedudukan sentral dalam seluruh kgiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam dunia pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan secra sembarangan saja.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan oleh hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam dan sesuai dengan tantangan zaman. Karena kurikulum ibarat sebuah rumah yang harus mempunyai pondasi agar dapat berdiri tegak, tidak rubuh dan dapat memberikan kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya, pondasi tersebut ialah landasan-landasan untuk kuriulum sebagai rumahnya, agar bisa memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi peserta didik untuk menuntut ilmu dan menjadikannya produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama, masyarakat dan negaranya. Bila landasan rumahnya lemah, maka yang ambruk adalah rumahnya sedangkan jika landasan kurikulum yang lemah dalam pendidikan maka yang ambruk adalah manusianya.
Oleh karena itu kurikulum dalam pendidikan perlu mempunyai perhatian yang besar baik bagi pemerintah sebagai penanggung jawab umum atau pihak sekolah yang turun langsung mengimplementasikan kurikulum tersebut ke peserta didik, dengan berlandaskan pada filosofis, psikologis, sosiologis dan organisatoris serta bersifat dinamis agar tujuan pendidikan bisa tercapai sesuai dengan yang diharapkan. 

1.2  Topik Bahasan
1.      Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum
2.      Landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum
3.      Landasan sosial – budaya dalam pengembangan kurikulum





1.3  Tujuan
1.      Sdrdr
2.      Sfsf
3.      Sxzdfcsf






























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Kurikulum dan Landasan
Kurikulum secara bahasa berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olah raga yaitu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start hingga finish. Sedangkan secara istilah banyak diantara ilmuan – ilmuan terdahulu yang mengemukakan pendapatnya akan definisi dari sebuah kurikulum ini yang terus berkembang pengertian itu seiring dengan perkembangan zaman. Diantara salah satu dari pendapatnya yaitu William C. Bagley megatakan “ (the curriculum).. is a storehouse of organized race experience, conserved (until) needed in the constructive solution of new and antired problems”. Selanjutnya menurut Saylor, Alexander dan Lewis menganggap bahwa kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun di luar sekolah. Namun dalam kesehariannya banyak yang mengartikan bahwa kurikulum adalah rencana pendidikan, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, namun yang populer yaitu “the of a school is all experiences that pupils have under the guadience of teh school” yaitu segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah. Definisi yang mirip seperti itu diberikan antara lain oleh Harold Alberty, John Kerr dan lain-lain.
Adapun pengertian landasan Menurut Hornby c. s. dalam “The anvance leaner’s dictionaru of current English” mengemukakan definisi landasan sebagai berikut : “faoudation …. that on which an idea or belief rest an underlying principle’s as the foundations of religious belie the basis or starting point…”. Jadi menurut Hornby, landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang mendasari sesuatu. Contohnya dalam agama islam yang menjadi landasan utama umat muslim dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT adalah al-qur’an dan sunnah. Jadi, landasan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan atau prinsip yang bersumber dari kepercayaan dan menjadi sandaran atau pijakan untuk pengembangan kurikulum yang dinamis.




2.2  Landasan-Landasan Kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum memiliki peranan yang sangat signifikan, sehingga apabila kurikulum diibaratkan sebagai sebuah bangunan gedung atau rumah yang tidak menggunakan landasan atau pondasi yang kuat, maka ketika diterpa angin atau terjadi goncangan yang kencang, bangunan tersebut akan mudah roboh. Demikian pula dengan halnya kurikulum, apabila tidak memiliki dasar pijakan yang kuat, maka kurikulum terebut akan mudah terombang-ambing dan yang menjadi taruhannya adalah manusia sebagai peserta didik yang dihasilkan oleh pendidik itu sendiri.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum diantaranya Robert S. zais mengemukakan empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu : Philosopy and nature of knowledge, society and culture, the individual dan learning theory.  Sedangkan S. Nasution berpendapat dalam bukunya “ Pengembangan Kurikulum” yaitu asas filosofis yang pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan, asas sosiologis yang memberikan dasar untuk menentukan apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi, asas organisatoris yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya dan asas  psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat dicernakan dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf perkembangnnya. Serta Nana Syaodih Sukmadinata berpendapat dalam bukunya “ Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik” bahwa keempat landasan itu yaitu landasan filosofis, psikologis, sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlepas dari itu semua bahwa pada intinya semua sama. Dapat disederhanakan bahwa ketiga pendapat diatas semuanya berpendapat sama sehingga dapat saling melengkapi. Untuk itu empat landasan tersebut dapat dijadikan landasan utama dalam pengembangn kurikulum yaitu landasan filosofis, psikologis, sosiologis, budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan landasan organisatoris.
                  



A.    Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yag mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan dan sudah menjadi terkenal dalam dunia keilmuan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu, pada hakikatnya filsafat jugalah yang menentukan tujuan umum pendidikan.
Berdasarkan luas lingkup yng menjadi objek kajiannya, filsafat dapat dibagi dalam dua cabang besar, yaitu filsafat umum atau filsafat murni dan filsafat khusus atau terapan, sedangkan filsafat umum juga terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu :
·      Metafisika, membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi metafisika umum atau ontology, dan metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
·      Epistemologi dan logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan) dan hakikat penalaran (deduktif dan induktif).
·      Aksiologi, membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).
Adapun cabang – cabang filsafat khusus atau terapan, pembagiannya didasarkan pada kekhususan objeknya antara lain : filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat ilmu, filsafat religi, filsafat moral, dan filsafat pendidikan. 
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup sutu bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu Negara dengan filasafat Negara yang dianutnya. Sebagai contoh, pada waktu Indonesia dijajah oleh Belanda, maka kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat Negara kita dijajah oleh Jepang, maka kurikulum yang dianutnya juga berorientasi kepada kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh Jepang tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dn bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik juga harus sesuai dengan falsafah bangsa ini yaitu pancasila.
1)   Aliran-aliran filsafat pendidikan
Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab pemasalahan-permasalahan sekitar bagaimana seharusnya tujuan pendidikan itu dirumuskan, isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada peserta didik, metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.
        Jawaban atas permasalahan – permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya yang meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika, dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan,peran pendidik dan peserta didik. Konsep metafisika berimplikasi terhadap perumusan tujuan pendidikan terutama tujuan umum pendidikan yang rumusannya ideal dan umum, konsep hakikat manusia berimplikasi khususnya terhadap peranan pendidik dan peserta didik, konsep hakikat pengetahuan berimplikasi terhadap isi dan metode pendidikan, dan konsep aksiologi berimplikasi terutama terhadap perumusan tujuan umum pendidikan.
Keberadan aliran-aliran filsafat dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji terlebih dahulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena tidak semua konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Di antara aliran-aliran tersebut yaitu :
a)   Aliran Progresivisme dan pragmatisme
Aliran progresevisme mengakui dan berusaha mengembangkan asasnya dalam semua realita kehidupan, dengan tujuan agar semua manusia dapat bertahan menghadapi semua tantangan hidup. Sedangkan menurut aliran pragmatisme, suatu keterangan itu baru dikatakan benar jika sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai dengan kenyataannya.
   Kedua aliran ini dipelopori oleh William james dan John Dewey, salah satu sumbangan besar yang mereka berikan dalam perkembangan pendidikan di abad modern ini khususnya kurikulum yaitu, menurut aliran progresivisme tentang kurikulum mengehendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu, luas dan terbuka). Dengan berpijak pada prinsip ini, kurikulum dapat direvisi dan dievaluasi setiap saat, sesuai dengan kebutuhan. Sifat kurikulumnya adalah eksperimental atau tipe core curriculum, yaitu kurikulum yang dipusatkan pada pengalaman yang didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang kompleks.




b)   Aliran Esensialisme
   Aliran ini didasarkan oleh nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai yang dimaksud ialah yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif selama empat abad belakangan, yaitu sejak zaman renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme adat.
   Aliran ini menghendaki adanya kurikulum yang memuat mata pelajaran yang dapat menghantarkan manusia agar dapat menghayati nilai-nilai kebenaran yang berasal dari tuhan. Kurikulum menurut aliran ini berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Home, salah satu tokoh dari aliran ini berpendapat bahwa kurikulum hendaknya bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditunjukan kepada yang serba baik.

c)      Aliran Rekonstruksionisme
   Rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Pandangan tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi dasar bagi pengembangan konsep kurikulum yaitu, dari segi ontologi, mereka berpendapat bahwa realita itu bersifat universal, ada dimana-mana dan sama setiap tempat. Dari segi epistemologi, untuk memahami realita memerlukan asas tahu, maksudnya kita tidak mungkin memahami realita tanpa terlebih dahulu melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan ilmu pengetahuan. Sedangkan dari segi aksiologinya, bahwa dalam proses interaksi sesama manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral.



d)     Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif , seseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan karenanya itu masing – masing individu bebas menetukan mana yang benar atau salah . Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan: Bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?

e)      Aliran Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini beranggapan bahwa beberapa gagasan telah bertahan selama berabad – abad dan masih relevan saat ini seperti pada saat gagasan tersebut baru ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

B.     Landasan Psikologis
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu, yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-orang yang lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang, benda dan tumbuhan karena salah satunya yaitu kondisi psikologis yang dimilikinya. Benda dan tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Sedangkan binatang tidak memiliki taraf psikologis yang lebih tinggi dibanding manusia yang juga memiliki akal sebagai titik pembeda di antara keduanya.
Kondisi psikologis merupakan “karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan lingkungan”. Perilaku-perilakunya merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dan besar kaitannya  dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.

1)   Psikologi Perkembangan
Menurut J.P. Chaplin Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai “…that branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavior.” Artinya, “psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi-psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku”. Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik diharapkan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik serta kemampuannya, materi atau bahan pelajaran apa saja yang sesuai dengan umur, bakat serta kemampuan daya tangkap peserta didik begitu juga dengan cara penyampainnya dengan berbagai metode yang dapat diterima dilihat dari sisi psikologis tiap peserta didik.
Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap – tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar perbedaan dan persamaan tersebut individu dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Seperti pengelompokan atas dasar jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi dan lain sebagainya. Kedua pendekatan itu berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Dalam kenyataannya seringkali ditemukan adanya sifat-sifat individual, yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokan sebagai pendekatan isaptif.
Dalam pendekatan pentahapan dikenal dua variasi. Pertama, bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik, dan gerakan motorik, social, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendekripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pendekatan secara menyeluruh di kenal tahap-tahap perkembangan, banyak ilmuan yang mengadakan penilitian akan tahap-tahap perkembangan manusia dari segi psikologinya, diantaranya ialah Roussea yang membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan.

Tahap
Usia
Keterangan
I (infacy)
0-2 th
Tahap perkembangan fisik
II (childhood)
2-12 th
Perkembangan manusia primitive
III (pubescence)
12-15 th
Perkembangan intelektual dan kemampuan nalar
IV (adolescence)
15-25 th

Masa hidup sebagai manusia yang beradab, pertumbuhan seksual, social, moral, dan kata hati
           
Tahap perkembangan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum sebaiknya bersifat efektif, artinya tidak terpaku pada satu pendapat tentang tahapan saja, tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang mempunyai hubungan yang sangat erat.

2)   Psikologi Belajar
        Psikologi belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubaha tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif maupun  psikomotorik terjadi karena proses pengalaman yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai perilaku belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar. Intinya adalah, bahwa psikologi sangat membantu para guru dalam merancang sebuah kegiatan pembelajaran khusunya untuk pengembangan kurikulum.
        Menurut P. Hunt, ada tiga keluarga atau rumpunan teori belajar yang dibahas dalam psikologi belajar, yaitu teori disiplin mental, teori behaviourisme dan teori cognitif Gestald Field.

a)   Teori disiplin mental
Menurut teori ini bahwa dari sejak kelahirannya atau secara herediter, seorang anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Menurut teori ini belajar adalah merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.

b)   Teori behaviorisme
   Teori ini berpijak pada sebuah asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki atau tidak membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, seperti lingkungan sekolah, masyarakat, keluarga, alam, budaya, religi, dan sebagainya.

c)   Teori kognitif gestald field
   Menurut teori ini, belajar adalah proses pengembangan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman tersebut terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri.Gestalt Field melihat bahwa belajar, merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari perasaan tentang pola-pola atau hubungan.

C.    Landasan Sosisologis dan Budaya
Landasan sosiologis kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa kurikulum harus berlandaskan kepada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapat pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
Sosiologi dalam pembahasannya mencakup secara garis besar akan perkembagan masyarakat dan budaya yang ada pada setiap ragam masyarakat yang da di Indonesia ini. Karena beraneka ragamnya budaya masyarakat yang ada di negeri ini, sehingga kurikulum dalam perumusannya juga harus menyesuaikan pada budaya masyarakat yanga akan menjadi objek pendidikan dan penerima dari hasil pendidikan tersebut. Tidak bisa kita menggunakan kurikulum pendidikan untuk orang – orang pedalaman untuk diajarkan kepada orang-orang maju seperti di kota dan pendidikan luar wilayah tersebut yang lebih maju.
Menurut Daud Yusuf, terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu : logika, estetika, dan etika. Logika adalah aspek pengetahuan dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek emosi atau perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang bersumber pada logika. Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi.
Daud Yusuf mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika) manusia, dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya. Ada faktor yang mendasari bahwa kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
a.    Individu lahir tidak berbudaya, baik hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah. Oleh karena itu sekolah mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
b.   Kurikulum pada dasarnya harus mengokomodasikan aspek-aspek sosial dn budaya. Aspek sosiologis ialah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, aspek budayanya yaitu kurikulum sebagai alat harus berimplikasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti : nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.




























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kurikulum yang sudah sangat tenar istilahnya dalam dunia pendidikan merupakan inti yang ada dalam pendidikan atau dapat diistilahkan sebagai jantung pendidikan, karena didalamnya terdapat isi materi, metodelogi pembelajaran dan media  yang harus digunakan dengan berlandaskan pada landasan-landasanya yaitu :
a.       Landasan filosofis
b.      Landasan psikologis
c.       Landasan sosiologis dan budaya
d.      Landasan perkembangan IPTEK
e.       Landasan organisatoris
Dalam prakteknya,  jika landasan-landasan ini digunakan sebaik-baiknya dalam pembentukan kurikulum maka akan terbentuklah kurikulum yang kuat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang.


















DAFTAR PUSTAKA

http://sevannisa.blogspot.com/2012/11/landasan-filosofis-pengembangan.html